Advertisement
Produsen film Hollywood menghentikan peredaran filmnya ke Indonesia. Keputusan itu diambil karena tidak setuju dengan bea masuk retribusi yang ditetapkan oleh pemerintah di awal tahun. Menurut juru bicara 21 Cineplex, Noorca Massardi produsen film keberatan atas bea masuk distributor film impor.
Selama ini film asing dikenakan bea masuk impor barang bukan bea masuk distribusi.
"Itu bukan boikot, tapi sikap keputusan produsen film Amerika dan asing yang menentang ketentuan tentang bea masuk atas hak distribusi film impor di Indonesia, mulai hari Kamis mereka tidak mengedarkan produksi mereka di seluruh wilayah Indonesia”.
Selama ini film asing dikenakan bea masuk impor barang bukan bea masuk distribusi.
"Itu bukan boikot, tapi sikap keputusan produsen film Amerika dan asing yang menentang ketentuan tentang bea masuk atas hak distribusi film impor di Indonesia, mulai hari Kamis mereka tidak mengedarkan produksi mereka di seluruh wilayah Indonesia”.
Menurutnya selama ini, setiap film impor yang masuk dikenakan bea masuk atas barang sebesar 23,75 % dari nilai barang. Sumber pendapatan pemerintah lainya yaitu tiap pemilik film membayar pajak penghasilan sebesar 15% dan pemilik film membayar pajak tontonan kepada pemerintah daerah sebesar 10 sampai 15%. "Jadi bukan masalah pajak, tapi bea distribusi, ini tidak pernah ada di dunia," ujarnya.
Sementara ketika dikonfirmasi kepada Direktur Jenderal Bea Cukai, Thomas Sugijata, menyatakan dirinya belum mengetahui permasalahan tersebut. Namun kebijakan mengenai aturan bea masuk ditentukan oleh Tim Tarif di Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. ”Coba tanya BKF,” seperti yang dilansir oleh vivaNews.
Dirjen BKF, Bambang Brodjonegoro mengatakan bea cukai akan bertemu dengan ketua Asosiasi Importir Film, untuk menjelaskan pengertian bea masuk film tersebut. Namun Bambang berharap akan tercapai saling pengertian antara importir dan pemerintah. Dia menduga importir belum memahami bagaimana teknis bea masuk tersebut.
“Teknis bea masuk yang mungkin yang belum dipahami importir, kita tunggu ya perkembangannya, jangan membuat spekulasi,” kata dia.
Pemerintah tidak menghiraukan ancaman importir film Hollywood, yang memutuskan tidak mengedarkan film Amerika. Pemerintah tetap akan mengenakan pajak atas film impor lebih tinggi dari sebelumnya. Kenaikan biaya itu dikarenakan pemerintah mengenakan pajak terhadap royalti dan bagi hasil.
"Tidak terdapat kebijakan atau peraturan baru terhadap film impor dan tidak ada kenaikan tarif bea masuk," ujar Direktur Teknis Kepabeanan Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Heri Kristiono dalam Keterangan Pers di Kantor Pusat Bea Cukai, Jalan Ahmad Yani, Jakarta, Senin, 21 Februari 2011.
Menurut Heri, pengenaan penambahan royalti ke dalam nilai pabean film impor sudah sesuai dengan WTO valuation Agreemennt yang sudah diverifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 1994 dan diadopsi pada UU Nomor 10 Tahun 1995 yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang kepabeanan yang mengatur tentang nilai pabean.
Heri juga menegaskan tidak ada kenaikan tarif bea masuk. Selama ini film impor diklasifikasikan dalam HS Code 3706 dengan pembebanan tarif Bea Masuk (BM) 10 persen, PPN Impor 10 persen, dan PPh pasal 22 impor 2,5 persen.
Sedangkan untuk pengenaan bea masuk royalti, baru dikenakan setelah Ditjen Bea Cukai melakukan re-assesment berdasarkan empat surat referensi. Pertama rapat interdept tim harmonisasi yang dihadiri pimpinan Badan pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) yang menyatakan bahwa permasalahan selama ini adalah perhitungan pabean untuk impor film hanya didasarkan pada harga cetak copy film belum termasuk royalti dan bagi hasil.
Kedua Surat BP2N kepada Dirjen Bea Cukai Nomor 2882/BP2N/III/2010 perihal permohonan penetapan nilai pabean film impor esuai dengan nilai yang berlaku. Alasannya, pajak yang dikenakan terhadap film nasional selama ini lebih tinggi.
Alasan lain adalah data website Mojo Film Box-Office yang menunjukan hasil peredaran dari sebagian film impor yang dibayarkan pada produsen (52 judul film untuk periode April 2009 - Feruari 2010 mencapai US$60 juta setara Rp 570 miliar.
Ketiga, surat Dirjen Perdagangan Luar Negara kepada Ketua BP2N Nomor 121/DAGLU/4/2010 yang menyatakan bahwa ada faktor keunikan film yang mengandung hak atas kekayaan intelektual sehingga penetapan nilai pabean tidak sekadar menggunakan patokan metrik rata-rata film sebesar US$0,43 per meter.
Keempat, surat dari BKF kepada BP2 perihal pemberian insentif fiskal bagi industri perfilman nasional dan penetapan nilai pabean atas film impor yang menyatakan penetapan nilai pabean bukan merupakan kebijakan.
Dengan dasar pertimbangan tersebut, Bea Cukai lalu melakukan re-assement dimana prosedur pemasukan barang impor sesuai UU tersebut menganut prinsip-prinsip self assessment. Dalam pemberitahuan pabeannya, importir hanya memberitahukan biaya cetak copy film tanpa memasukan royalti ke dalam nilai pebeannya sehingga Bea Cukai menambahkannya ke dalam perhitungan nilai pabean.
Heri juga menambahkan saat ini pihak Bea Cukai masih menunggu laporan secara tertulis dari pihak Motion Picture Association (MPA) untuk menjelaskan hal-hal yang menjadi perhatian dari distributor film asal Amerika Serikat itu.
"Tidak terdapat kebijakan atau peraturan baru terhadap film impor dan tidak ada kenaikan tarif bea masuk," ujar Direktur Teknis Kepabeanan Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Heri Kristiono dalam Keterangan Pers di Kantor Pusat Bea Cukai, Jalan Ahmad Yani, Jakarta, Senin, 21 Februari 2011.
Menurut Heri, pengenaan penambahan royalti ke dalam nilai pabean film impor sudah sesuai dengan WTO valuation Agreemennt yang sudah diverifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 1994 dan diadopsi pada UU Nomor 10 Tahun 1995 yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang kepabeanan yang mengatur tentang nilai pabean.
Heri juga menegaskan tidak ada kenaikan tarif bea masuk. Selama ini film impor diklasifikasikan dalam HS Code 3706 dengan pembebanan tarif Bea Masuk (BM) 10 persen, PPN Impor 10 persen, dan PPh pasal 22 impor 2,5 persen.
Sedangkan untuk pengenaan bea masuk royalti, baru dikenakan setelah Ditjen Bea Cukai melakukan re-assesment berdasarkan empat surat referensi. Pertama rapat interdept tim harmonisasi yang dihadiri pimpinan Badan pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) yang menyatakan bahwa permasalahan selama ini adalah perhitungan pabean untuk impor film hanya didasarkan pada harga cetak copy film belum termasuk royalti dan bagi hasil.
Kedua Surat BP2N kepada Dirjen Bea Cukai Nomor 2882/BP2N/III/2010 perihal permohonan penetapan nilai pabean film impor esuai dengan nilai yang berlaku. Alasannya, pajak yang dikenakan terhadap film nasional selama ini lebih tinggi.
Alasan lain adalah data website Mojo Film Box-Office yang menunjukan hasil peredaran dari sebagian film impor yang dibayarkan pada produsen (52 judul film untuk periode April 2009 - Feruari 2010 mencapai US$60 juta setara Rp 570 miliar.
Ketiga, surat Dirjen Perdagangan Luar Negara kepada Ketua BP2N Nomor 121/DAGLU/4/2010 yang menyatakan bahwa ada faktor keunikan film yang mengandung hak atas kekayaan intelektual sehingga penetapan nilai pabean tidak sekadar menggunakan patokan metrik rata-rata film sebesar US$0,43 per meter.
Keempat, surat dari BKF kepada BP2 perihal pemberian insentif fiskal bagi industri perfilman nasional dan penetapan nilai pabean atas film impor yang menyatakan penetapan nilai pabean bukan merupakan kebijakan.
Dengan dasar pertimbangan tersebut, Bea Cukai lalu melakukan re-assement dimana prosedur pemasukan barang impor sesuai UU tersebut menganut prinsip-prinsip self assessment. Dalam pemberitahuan pabeannya, importir hanya memberitahukan biaya cetak copy film tanpa memasukan royalti ke dalam nilai pebeannya sehingga Bea Cukai menambahkannya ke dalam perhitungan nilai pabean.
Heri juga menambahkan saat ini pihak Bea Cukai masih menunggu laporan secara tertulis dari pihak Motion Picture Association (MPA) untuk menjelaskan hal-hal yang menjadi perhatian dari distributor film asal Amerika Serikat itu.
Sumber: VIVAnews
Advertisement
{ 0 comments... read them below or add one }
Post a Comment